Abstraksi : Kekuasaan yang tumbuh berkembang sesuai dengan perubahan jaman dan sangat dibutuhkan dalam semua aspek kehidupan serta semua manusia menginginkannya, bagaikan pisau bermata dua. Apabila dilaksanakan secara bertanggungjawab, dia akan membawa kebahagiaan dan manfaat untuk semua pihak, namun bila disalah gunakan dia akan membawa malapetaka bagi lingkungan maupun diri sang penguasa sendiri.

(Talking about the power, as if growing and developing as time changes, is badly needed in every aspect of life. Therefore every human being want it, it just like a two-side of blade. If the power is perform on great and full of responsible, it will bring benefit and prosperity to every person, but if the power is misused and with careless responsibility will bring disaster to the environment and the person him/herself.)

I. PENDAHULUAN

Kekuasaan cenderung korup dan bisa menjadi sangat angkuh (Teori Kekuasaan Lord Acton), merupakan suatu adagium/ungkapan atau pepatah yang dewasa ini lazim kita dengar. Memang belum tentu benar, tetapi keberadaan ungkapan ini telah melalui penelusuran dokumen-dokumen, penelitian, dan pengalaman empiris selama berabad-abad. Kekuasaan disadari memang sangat potensial membuat seseorang berbuat korup. Karena itu kata korupsi sampai saat ini masih menjadi kata krusial yang diperbincangkan dalam masyarakat. Kata korupsi selalu diidentikkan dengan penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan untuk keuntungan privat. Sejak dahulu kala para penguasa dan pengelola kekuasaan selalu cenderung korup dan angkuh, karena bisnisnya ya kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan dapat menjadi sangat korup karena angkuhnya itu sudah sangat luar biasa. Celakanya keangkuhan kekuasaan bisa menyebabkan seorang yang semula normal-normal saja dan punya integritas yang tinggi, tiba-tiba mengidap kelainan syaraf atau perilaku. Jika sebelum memegang kekuasaan kuping sang penguasa/ pejabat masih sangat tipis dan berfungsi sepenuhnya, tapi setelah berkuasa pendengarannya hanya tinggal separuh, dengan kata lain syaraf pendengarannya cukup berfungsi dan peka terhadap suara, bunyi serta nada tertentu, namun tidak terhadap suara dan bunyi yang lain. Artinya bunyi, suara serta nada yang dia dengar hanya yang senada dan seirama dengan lagu dan lirik kesayangannya baik ciptaan sendiri, kelompok maupun pesanan , sedangkan terhadap bunyi yang mengandung nada dan irama yang berbeda ia malah tuli total bahkan represif.
Kekuasaan sebagai syahwat paling kuat dalam diri manusia merupakan salah satu nikmat dunia seperti mimpi indah bagi semua orang, selalu membawa kecenderungan manusia untuk meraihnya. Dengan anggapan kehidupan ekonominya kelak akan terjamin serta gaya hidup yang cenderung mewah dan meningkatnya status sosial mereka di masyarakat, maka makin indah lah mimpi berkuasa dalam masyarakat dan segera harus diwujudkan, yang pada gilirannya terciptanya ilusi kekuasaan yang mendorong orang untuk “Gila Kuasa”

II. LANDASAN TEORI

A. Pengertian Kekuasaan

Kuasa (menurut Kamus besar Bahasa Indonesia/KBBI) adalah kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu ; kekuatan. wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus) sesuatu .
Kekuasaan adalah kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau kekuatan fisik (menurut KBBI). Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Michael Foucault, seorang filsuf berkebangsaan Prancis mendefinisikan bahwa kekuasaan adalah seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan , persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Lebih lanjut Foucault mengatakan : Kekuasaan bukan suatu institusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki, tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat . Kemungkinan pemahaman kekuasaan tidak terpusat pada satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan di dalam banyak dan beragamnya hubungan kekuatan yang melekat pada banyak bidang dan organisasinya. Kekuasaan berarti perang bisu yang menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh kita masing-masing. Bahkan dengan muslihatnya kekuasaan bisa tampil bukan dalam bentuk represi, namun rayuan dan internalisasi menjadi motivasi diri, bukan yang memaksa. Hubungan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari hubungan- hubungan yang ada dalam proses hubungan seksual, ekonomi, politik, penyebaran pengetahuan. Kekuasaan adalah akibat langsung dari pemisahan. Ia lahir ketika ada ketidaksamaan atau ketidakseimbangan, lalu mendorong terjadinya diskriminasi. Perbedaan –perbedaan itu dibentuk dan berjalan di tempat kerja, keluarga, institusi dan berbagai pengelompokan. Foucault melihat kekuasaan lebih merupakan sesuatu yang produktif di mana setiap orang ikut ambil bagian sehingga kekuasaan itu menghasilkan realitas, riil menghasilkan bidang-bidang obyek dan ritus-ritus kebenaran. Tidak perlu lagi digambarkan efek-efek negatif kekuasaan berupa menafikan, menindas, menolak, menyensor, menutupi menyembunyikan dan lain-lain. Kekuasaan menurut Drs. D. Hendro puspito adalah merupakan kemampuan (capacity) yang ada pada seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi pihak lain supaya menuruti kehendaknya baik dengan cara meyakinkan maupun dengan memaksa.
Dalam setiap relasi antar manusia maupun antar kelompok sosial , dan semua bidang kehidupan selalu melekat pengertian kekuasaan. Jadi kekuasaan terdapat dimana-mana, dalam hubungan sosial maupun di dalam organisasi - organisasi sosial termasuk negara sebagai pengemban kekuasaan tertinggi. Artinya sejarah umat manusia membuktikan bahwa tidak ada masyarakat manusia tanpa kekuasaan, dan tidak ada kekuasaan manusia tanpa masyarakat, tidak ada seorang makhluk manusia pun yang tidak suka berkuasa. Dalam hal ini sosiolog Amos Hawley mengatakan ; Setiap tindakan sosial adalah ungkapan kekuasaan, setiap hubungan sosial adalah penyamaan (equation) kekuasaan, dan setiap kelompok sosial atau sistem adalah organisasi kekuasaan. Kehadiran kekuasaan di dalam masyarakat demikian penting, sehingga tanpa kekuasaan dunia tidak berguna bagi manusia.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya memiliki hasrat dan keinginan abadi untuk mengejar kekuasaan (berakhir bila dia mati). Kekuasaan memang mengasyikkan dan mempesona malah bisa membuat mabuk, rela menderita dan ketagihan untuk terus menerus melakukannya sehingga dia lupa untuk senyum dan bersikap ramah dengan orang orang yang dijumpainya saat dia berada dipuncak kekuasaan. Padahal saat turun atau jatuh dari tahta kekuasan dia akan berjumpa dengan orang-orang yang sama. Kekuasaan memang membuat orang lupa diri. Hanya sedikit yang menyadari bahwa kekuasaan itu tidak langgeng atau hanya berumur pendek. Namun ketika tidak berkuasa lagi, rasa segan maupun sikap hormat orang sepadan dengan bagaimana kita saat mengelola kekuasaan itu.

B. Asal Usul atau Sumber Kekuasaan

Untuk kelangsungan hidupnya, manusia memerlukan bermacam-macam bahan yang dibutuhkan. Di planet bumi ini tersedia seluruh bahan yang dibutuhkan manusia. Untuk memperolehnya ada yang tidak memerlukan pengorbanan, namun lebih banyak yang harus diolah terlebih dahulu. Pengolahan itu membutuhkan ketrampilan maupun ilmu pengetahuan. Kemampuan mengelola persediaan alam inilah yang menjamin kelangsungan hidup manusia. Dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia tidak hanya bisa bertahan tapi terus berkembang. dari suatu peradaban ke peradaban yang lebih tinggi dan seterusnya. Dari proses inilah bermula muncul dan diperlukannya pemimpin dan kekuasaan dalam kehidupan manusia. Hubungan antara pemimpin dengan kekuasaan merupakan dua hal yang saling berkaitan erat satu sama lain yang tak terpisahkan, ibarat matahari dengan panasnya, kina dengan pahitnya atau garam dengan asinnya. Kekuasaan dapat diperoleh karena bermacam-macam sebab, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling canggih.
Menurut pendapat beberapa ahli, diantaranya : D. Hendropuspito, Dr. Haryatmoko, Prof. Miriam Budiarjo, Rafael Raga Maran dan Soerjono Soekanto, dengan melalui modifikasi penulis, mereka berpendapat bahwa sumber, basis atau asal usul kekuasaan sosial, pada hakekatnya dapat diidentifikasikan ke dalam beragam sumber, yaitu :

1. Kekuasaan legitimasi/sah (Legitimate Power)
Kekuasaan yang diperoleh melalui pengangkatan, karena posisinya dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau wewenang (authority) kepada seseorang pemimpin untuk memberi perintah yang harus dipatuhi oleh pihak yang dipimpin. Kekuasaan ini bersifat terbatas sesuai dengan lingkup wewenang yang diberikan pada saat pengangkatan. Kekuasaan disini bisa dengan cara pemilihan maupun dengan cara pengangkatan.

2. Kekuasaan Kekerasan /paksa ( Coercive Power)
Kekuasaan yang didasari melalui jalan kekerasan, karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberikan hukuman dan melakukan pengendalian. Atau dapat juga melalui kudeta atau perebutan kekuasaan dengan menggunakan kekuatan senjata. Karena diperoleh melalui jalan pemaksaan, maka kekuasaan ini dikategorikan sebagai inkonstitusional. Biasanya setelah terjadi perebutan kekuasaan ini akan menyusul perubahan-perubahan yang besar dan mendasar.

3. Kekuasaan Keahlian/Kepakaran atau pengetahuan yang unggul ( Expert / knowledge Power)
Kekuasaan yang diperoleh seseorang karena keahlian atau pengetahuan maupun kemampuan otak dalam suatu bidang tertentu, sehingga yang dipimpin patuh karena percaya bahwa pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran yang melebihi dirinya. Dalam kondisi ini yang diutamakan adalah “the right man on the right place” atau menempatkan orang yang tepat pada posisi yang pas/tepat pula. Dinegara-negara yang maju sistem ini sudah diterapkan dengan baik, sedangkan di negara berkembang system ini belum sepenuhnya dapat diterapkan malah cenderung tidak sama sekali.

4. Kekuasaan Pemberian /penghargaan(Reward Power)
Kekuasaan yang diperoleh melalui pemberian. Menurut teori ini sebuah kekuasaan dapat diperoleh karena kekayaan. Karena kekayaan itu sang jutawan/jetset dapat menguasai dan mempengaruhi keadaan, baik politik, ekonomi maupun kebijakan lainnya.

5. Kekuasaan daya tarik/penghormatan (reverent power)
Kekuasaan yang diperoleh atau timbul karena daya tarik atau penampilan seseorang, karisma, karakteristik individu, keteladanan atau kepribadian. Dengan pikiran yang sederhana dari jenis kekuasaan ini adalah karena rasa kagum dan pemujaan kepada seseorang, maka ada kerelaan untuk dikuasai

6. Kekuasaan Informasi (Information Power)
Kekuasaan yang diperoleh dari kemampuan penguasaan informasi. Ada pepatah mengatakan barang siapa yang menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia. Dalam dunia modern sangat mengandalkan kecanggihan teknologi, sehingga informasi merupakan kebutuhan yang paling dasar dan sangat penting

7. Kekuasaan Koneksi ( Connection Power)
Kekuasaan yang diperoleh karena adanya koneksi atau relasi seseorang. Semakin banyak dan luas relasi atau koneksi seseorang semakin besar dan terbuka lebar peluang untuk mendapatkan kekuasaan.

8. Kekuasaan Kekayaan Material
Orang yang mempunyai kekayaan material mempunyai peluang besar memiliki dan mendapatkan kekuasaan.

9. Kekuasaan disiplin
Orang dapat memperoleh kekuasaan melalui disiplin yang tinggi. Dengan berbekal disiplin yang tinggi sebuah regu aparat keamanan dapat menguasai massa yang besar. Ini terjadi karena pada massa tidak ada identitas yang jelas, tidak ada kesatuan kemauan maupun pola kelakuan yang sama diantara anggota massa.

10. Kekuasaan Mayoritas yang Bersatu
Mayoritas yang bersatu padu, adanya kesadaran bersama
berdasarkan kesamaan suku atau ras, agama, politik dan lain- lain, akan mudah mendapatkan atau memperoleh kekuasaan.

11. Kekuasaan Hukum
Hukum sebagai sumber kekuasaan tidak berupa kekuatan fisik, melainkan kekuatan moral. Artinya hukum dapat memaksa kehendak atau hati nurani orang. Kekuasaan berdasarkan hukum memberi batasan yang jelas mengenai : , bidang kekuasaan, lama kekuasaan, fungsi kekuasaan, sanksi maupun ketentuan tentang kompetensi seseorang. Jika dilihat dari sudut kepentingan masyarakat yang mendambakan keadilan dan ketentraman, maka kekuasaan masa- masa modern ini harus berdasarkan pada hukum.










C. Unsur unsur Kekuasaan

Kekuasaan yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia maupun antar kelompok, menurut sosiolog Soerjono Soekanto mempunyai beberapa unsur pokok, mencakup :

1. Rasa Takut
Merupakan kepatuhan yang didasari dengan rasa takut. Orang yang mempunyai rasa takut akan berbuat segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan orang yangh ditakuti, agar terhindar dari masalah-masalah yang akan menimpa dirinya seandainya dia tidak patuh. Rasa takut merupakan gejala universal yang terdapat dimana-mana dan biasanya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan

2. Rasa Cinta
Orang-orang lain dengan perasaan senang dan rela berbuat dan bertindak sesuai dengan kehendak pihak yang berkuasa. Rasa cinta ini merupakan suatu reaksi positif dari masyarakat yang akan menghasilkan perbuatan-perbuatan yang pada umumnya positif yang pada gilirannya sistem kekuasaan akan dapat berjalan dengan baik dan teratur.

3. Kepercayaan

Kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung antara dua orang atau lebih yang bersifat asosiatif . Sipemegang kekuasaan mengadakan hubungan langsung kepada yang dikuasai, baik bersifat pribadi, organisasi maupun masyarakat secara luas. Dengan adanya kepercayaan ini mungkin saja pihak yang dikuasai tidak mengetahui kegunaan tindakan-tindakannya, namun karena dia telah menaruh kepercayaan kepada penguasa, dia akan berbuat hal-hal yang sesuai dengan kemauan penguasa.

4. Pemujaan
Pemegang kekuasaan mempunyai dasar pemujaan dari orang orang
lain, akibatnya segala tindakan penguasa dibenarkan atau setidak-
tidaknya dianggap benar.

Keempat unsur tersebut merupakan sarana yang pada umumnya digunakan oleh penguasa untuk dapat menjalankan kekuasaannya. Dalam menjalankan kekuasaan tersebut dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada masyarakat dengan jumlah kecil , bersahaja, sederhana, dan sesama warga masih saling mengenal maka kekuasaan itu dapat dilakukan secara langsung tanpa perantara. Namun di dalam masyarakat yang sudah rumit yang membutuhkan pranata-pranata sosial yang luas dan berjenjang, maka kekuasaan itu terpaksa dilaksanakan secara tidak langsung sesuai dengan tingkat kerumitan dan keluasan dari masyarakat yang termasuk dalam lingkup kekuasaannya.

D. Saluran Kekuasaan
Di dalam pelaksanaan kekuasaan, banyak saluran- saluran yang dapat ditempuh sesuai dengan kondisi dan strata sosial masyarakat. Dari demikian banyaknya saluran tersebut, Soerjono Soekanto hanya membatasi pada saluran-saluran sebagai berikut :

1. Saluran kekuatan / Militer

Penguasa mempergunakan kekuatan (misalnya militer) sebagai unsur pemaksa di dalam melaksanakan kekuasaannya. Tujuan utamanya adalah untuk menimbulkan rasa takut dalam diri kelompok/masyarakat, sehingga mereka tunduk kepada kemauan penguasa. Untuk itu dibentuk kelompok- kelompok khusus sebagai upaya mengintimidasi. Biasanya penggunaan saluran kekuatan/militer ini dijumpai pada negara-negara/masyarakat yang menganut paham totaliter atau otoriter

2. Saluran Ekonomi

Penguasa berusaha untuk menguasai ekonomi dan kehidupan masyarakat dengan peraturan-peraturan yang akan menyalurkan perintah-perintah penguasa dengan disertai sanksi- sanksi tertentu.

3. Saluran Politik

Penguasa melalui lembaga- lembaga yang berwenang membuat peraturan-peraturan sebagai upaya meyakinkan dan memaksa masyarakat untuk taat dan patuh kepada penguasa


4. Saluran Tradisional
Dengan cara menguji dan menyesuaikan tradisi pemegang
kekuasaan dengan tradisi yang dikenal di dalam suatu masyarakat.
Dengan cara demikian diharapkan akan dapat diperoleh suatu titik
temu antara tradisi-tradisi tersebut, sehingga dapat mencegah dan
mengatasi reaksi negativ, yang pada gilirannya kekuasaan akan
dapat berjalan dengan lancar dan langgeng. Biasanya saluran
tradisional ini paling disukai, karena tingkat perlawanan dari
masyarakat sangat kecil karena eksistensi atau keberadaannya
masih dapat dipertahankan.

5. Saluran Ideologi
Penguasa mengemukakan serangkaian ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin yang bertujuan untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaannya. Hal itu dilakukan supaya kekuasaan dapat menjelma menjadi wewenang

6. Saluran-saluran lainnya

Cara lain yang dapat dipergunakan oleh penguasa adalah dengan melalui alat-alat komunikasi massa seperti surat kabar, radio, televisi, dan lain-lain. Dengan pesatnya perkembangan iptek di bidang alat-alat komunikasi massa, menyebabkan saluran ini mendapatkan tempat yang penting sebagai saluran pelaksanaan kekuasaan. Biasanya penguasa menggunakan saluran alat-alat komunikasi ini disesuaikan dengan struktur masyarakat yang dituju.
Biasanya penguasa tidak hanya menggunakan salah satu saluran saja, namun bisa saja merupakan kombinasi-kombinasi dari berbagai saluran tersebut. Pemilihan saluran-saluran kekuasaan ini merupakan alternatif-alternatif pilihan yang sangat dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang bersangkutan.

E. Jalan atau Cara Melanggengkan Kekuasaan

Kekuasaan yang telah dimiliki dan dijalankan melalui saluran-saluran sebagaimana yang telah dipilih, maka upaya selanjutnya adalah mengusahakan serangkaian cara atau usaha-usaha untuk mempertahankannya. Menurut para pakar (Soerjono Soekanto, Dr. Haryatmoko dan Drs. D. Hendropuspito, Krispurwana Cahyadi) , bahwa upaya, jalan atau cara yang dapat ditempuh untuk melanggengkan kekuasaan dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Konsolidasi

Mengadakan konsolidasi baik horizontal maupun vertikal. Ini
dimaksudkan untuk memperkecil kemungkinan meluasnya
kelompok penentang. karena bagaimanapun penguasa itu
mempunyai keterbatasan kemampuan penguasaan bidang
kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu
penguasa berusaha untuk mendekati pihak-pihak lain yang
mempunyai keahlian tertentu untuk membentuk golongan
kekuasaan tersendiri.




2. Merubah Peraturan

Mengganti peraturan-peraturan dan kebijaksanaan lama yang
dianggap merugikan dan menggantikannya dengan peraturan dan
kebijaksanaan baru yang akan menguntungkan penguasa.

3. Sistem Kepercayaan

Membentuk suatu sistem kepercayaan yang akan dapat
memperkokoh kedudukan penguasa. Sistem kekuasaan ini meliputi :
agama, ideologi, kelompok, dll

4. Pergantian Rezim

Apabila kekuasaan baru saja dicapai, maka hal yang perlu dilakukan
oleh penguasa baru adalah menumpas habis penguasa lama berikut
kroni-kroninya. Ini dimaksudkan agar penguasa lama tidak
mempunyai kesempatan untuk menyusun kekuatan perlawanan.

5. Membuat Perbedaan

Yaitu dengan membuat perbedaan dan memposisikan yang berbeda itu sebagai lawan atau musuh. Semakin mampu dia meyakinkan orang bahwa yang berbeda itu adalah musuh, maka semakin langgenglah kekuasaan itu. Dengan terciptanya musuh atau lawan akan menciptakan pula diskriminasi yang pada gilirannya kekuasaan itu dapat dijalankan secara sewenang-wenang.
Diskriminasi tetap dibutuhkan agar kekuasaan dapat berjalan aman, keuntungan ekonomis dan politis bisa didapatkan. Maka kalau ada pertanyaan mengapa masih ada saja praktik diskriminasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, maka jawabnya tidak lain dan tidak bukan adalah “Kekuasaan membutuhkan itu “ Oleh karena itu kaum marjinal yang memiliki stigma(ciri negatif) tetap saja akan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Kaum kritis atau mereka yang idealis (dari politisi, intelektual, aktivis LSM dll) dipinggirkan bahkan dikenai ancaman maupun tuduhan palsu.



6. Memanipulasi Kebenaran

Untuk menguatkan klaim kebenaran, maka praktik manipulasi harus diterapkan. Untuk melegitimasi kekuasaan, sejarah bisa direkayasa ditulis sesuai dengan pesanan penguasa, bahkan biografi tokoh dan mitos pun merupakan sarana untuk membangun legitimasi. Berbagai ilmu –ilmu pengetahuan dijadikan sebagai “pelacur intelektual”.dan disusun untuk melanggengkan kekuasaan. Kekuasaan menjadi ladang subur untuk saling mencari keuntungan. Dan untuk itu harus ada yang ditempatkan sebagai kaum pinggiran/marjinal sebagai pihak lawan bersama, karena lawan itu dibutuhkan oleh elit penguasa. Salah satu praktek manipulasi kebenaran adalah merekayasa sejarah, yang ditulis sesuai pesanan penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya.

7. Menghalalkan Segala Cara

Mengenai cara untuk mencapai dan memelihara kekuasaan, ada satu pemikiran yang sangat fenomenal yang dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli (Florence,3 Mei 1469) dalam bukunya yang berjudul Il Principe /Politik Kekuasaan (1513-1519)
pokok-pokok pikiran Machiavelli dalam ideologi menghalalkan segala cara demi meraih dan mempertahankan kekuasaan ini dilakukan dengan upaya-upaya :
- Pemisahan antara politik dengan akhlak secara keseluruhan, Bahwa dalam politik tidak ada faedahnya menuruti peraturan moral. Untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan dibenarkan menggunakan sarana dan alat apapun, termasuk yang tidak legal dan tidak sesuai dengan undang-undang sekalipun.
- Penipuan, pembunuhan, kekerasan, sikap tidak berprikemanusiaan dan pelanggaran terhadap perjanjian diperlukan demi kekuasaan.
- Menerima sistem warisan kekuasaan yang dipegang sebuah keluarga secara turun temurun
- Perang haruslah menjadi aktivitas utama, karena dengan perang akan mendapatkan banyak hal.

F.Korupsi

Bahwa dari segi semantic “Korupsi” berasal dari bahasa Latin, perpaduan dua kata, yaitu Com yang berarti bersama-sama, rumpere yang berarti pecah atau jebol. Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Istilah korupsi adalah suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.
Menurut Emil Salim definisi korupsi adalah perilaku (mereka yang bekerja di sektor publik dan swasta, baik politisi maupun pegawai negeri) yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri dan/atau memperkaya mereka yang berdekatan dengannya, atau merangsang orang lain berbuat serupa dengan menyalahgunakan kedudukan yang mereka emban.

1. Kata kunci dari pengertian korupsi ini adalah :

a. Pelaku yang terlibat dalam korupsi terdapat dikalangan
pemerintah (pegawai negeri), swasta (pengusaha) maupun politik (politisi)
b. Mereka berperilaku memperkaya atau yang berdekatan dengannya
atau merangsang orang lain memperkaya diri. Pengertian
memperkaya diri tidak saja dalam makna harta, tetapi juga
kekuasaan.
c. Cara yang dipakai adalah tidak wajar dan tidak legal dengan
menyalahgunakan kedudukannya.

2. Ciri – ciri Korupsi

Dari pengertian korupsi sebagaimana diuraikan diatas, MTI
mengatakan ciri-ciri korupsi adalah :
a. Melibatkan lebih dari satu orang.
b. Berlaku diberbagai kalangan baik pemerintah maupun swasta
c. Umumnya serba rahasia, mengandung penipuan, kecuali sudah
membudaya.
d. Korupsi dapat berupa uang sogok, salam tempel, uang pelancar,
penggelembungan harga dan/atau jumlah barang,
e. Korupsi tidak hanya berbentuk uang tunai maupun benda, namun
bisa berupa korupsi waktu dan kedisiplinan
f. Melanggar norma-norma tugas dan moral.

3. Sebab-sebab Korupsi

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam
bukunya yang berjudul :Strategi Pemberantasan Korupsi,
mengatakan bahwa penyebab korupsi antara lain :

a. Aspek Individu Pelaku
- Sifat tamak manusia
- Moral yang kurang kuat
- Penghasilan yang kurang mencukupi
- Kebutuhan hidup yang mendesak
- Gaya hidup yang konsumtif
- Malas atau tidak mau kerja
- Ajaran agama yang kurang diterapkan

b. Aspek organisasi
- Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
- Tidak adanya kultur organisasi yang benar
- Sistem akuntabilitas yang kurang memadai
- Kelemahan sistem pengendalian manajemen
- Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi.
- Aspek tempat individu dan organisasi berada :
Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi.
Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena
kekayaannya. Akhirnya tidak kritis dari mana kekayaan itu
didapatkan atau diperoleh.
Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi,
karena yang paling dirugikan oleh adanya korupsi itu adalah
masyarakat itu sendiri.
Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa
dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif.
Aspek kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang
memadai ( kurang disosialisasikan, sanksi yang kurang
sepadan, tidak konsisten, cenderung memihak/pandang bulu,
lemahnya evaluasi dan revisi)




III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan dan menentukan nasib umat manusia. Dari sudut pandang sosiologi, kekuasaan bukan sebagai sesuatu yang baik atau yang buruk, namun lebih mengakui atau melihat kekuasaan sebagai unsur yang sangat penting dalam kehidupan. Karena kekuasaan sendiri mempunyai sifat yang netral, maka menilai baik atau buruknya harus dilihat pada penggunaannya bagi keperluan masyarakat. Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap kehidupan masyarakat, baik yang masih bersahaja/sederhana maupun yang sudah besar atau rumit. Namun karena kekuasaan itu tidak bisa dibagi rata kepada semua anggota masyarakat, maka timbullah makna yang pokok dari kekuasaan yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan, demikian pendapat dari Soerjono Soekanto.

Kekuasaan sebagai salah satu perhiasan dunia, selalu membawa kecenderungan orang untuk meraihnya. Fenomena yang terjadi pada dewasa ini menunjukkan bagaimana orang berbondong-bondong mengejar kekuasaan, sebab sebagian orang beranggapan bahwa dengan kekuasaan akan langsung meningkatkan status sosial mereka yang tentunya akan diikuti dengan kehidupan ekonominya yang meningkat. Keinginan mengejar kekuasaan selain akibat dari dorongan psikologis dari masing-masing individu, juga sangat dipengaruhi oleh kehidupan sosial yang berkembang di masyarakat. Selain itu muncul pula sikap dari orang-orang yang sedang berkuasa dengan gaya hidup dan tingkat ekonomi yang meningkat pula yang sangat menggoda mimpi berkuasa dalam masyarakat. Salah satu ciri sosial kehidupan masyarakat , adalah Paguyuban (Gemeinschaft), yaitu bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni bersifat alamiah serta bersifat kekal yang didasari rasa cinta dan rasa kesatuan bathin yang memang telah dikodratkan, serta patembayan (Gesellschaft) yang dicirikan merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanik, bentuknya terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik . Demikian pendapat Ferdinand Tonnies yang dikutip oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya, Sosiologi Suatu Pengantar. Akibatnya seseorang yang sukses kariernya dengan sendirinya berkewajiban memikul beban membawa keluarganya sukses, minimal dengan cara memberi bantuan keuangan kepada keluarganya. Jika tidak ia akan dianggap egois, pelit tidak solider dan hanya mementingkan diri sendiri, karena sukses yang dicapai tidak lepas dari peran keluarga juga.

Dari kondisi inilah maka kekuasaan dapat dipahami dari beberapa perspektif (menurut Dr. Haryatmoko), yaitu :
1. Kekuasaan terlaksana melalui persetujuan (Hobbes, Loccke); 2. Kekuasaan beroperasi di dalam pertarungan kekuatan (Machiavelli); 3. kekuasaan dimengerti sebagai fungsi dominasi suatu kelompok yang di dasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi ideologi (Karl Marx); 4. Kekuasaan lebih dipahami sebagai seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Beragamnya konsep kekuasaan itu tentunya menentukan bentuk hubungan etika dan kekuasaan. Berhubungan erat dengan masalah kekuasaan adalah adanya pengaruh (influence) , sehingga sering dikatakan bahwa pengaruh adalah bentuk lunak dari kekuasaan. Dalam hal ini biasanya seseorang yang mempunyai kekuasaan juga mempunyai pengaruh didalam dan di luar bidang kekuasaannya. Namun tidak semua orang yang memiliki kekuasaan yang sama mempunyai pengaruh yang sama besarnya, karena masalah pengaruh berkaitan erat juga dengan kepribadian seseorang yang memegang kekuasaan. Dari kondisi spektrum keragaman kekuasaan seperti inilah kemudian berkembang sebuah paham yang mengatakan bahwa kekuasaan itu cenderung korup.

“Power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely”. Demikianlah cuplikan surat yang ditulis Lord Acton kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887. Dalam perspektif Lord Acton , korupsi dimaknai sebagai penyelewengan kekuasaan ( Ignas Kleden Dkk). Kata korupsi selalu diidentikkan dengan penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan publik untuk keuntungan privat. kekuasaan merupakan suatu fenomena yang mempunyai daya tarik dan pesona luar biasa. Siapapun akan amat mudah tergoda untuk tidak hanya berkuasa, tetapi akan mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Sedemikian mempesonanya daya tarik kekuasaan sehingga dalam tataran apa saja kekuasaan tidak akan diserahkan oleh pemilik kekuasaan tanpa melalui perebutan atau kompetisi. Selain mempesona, kekuasaan mempunyai daya rusak yang dahsyat. Kekuatan daya rusak kekuasaan melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan-ikatan etnis, ras, persaudaraan, agama dan lain-lain. Transformasi dan kompetisi memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan tanpa disertai norma, aturan, dan etika, maka nilai-nilai dalam ikatan (etnis, ras, persaudaraan, agama dan lain-lain) itu seakan tidak berdaya menjinakkan kekuasaan. Daya rusak kekuasaan inilah yang diungkap dalam suatu adagium “power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely. Lebih lanjut dikatakan bahwa korupsi merupakan tabiat kekuasaan, lebih tepatnya penyakit kekuasaan. Oleh karenanya korupsi merupakan permasalahan struktur kekuasaan yang ada. Jika struktur kekuasaan tidak memungkinkan berfungsinya mekanisme “check and balances” dapat dikatakan dan dipastikan bahwa korupsi akan berkembang dengan cepat dan bertahan. Dalam konteks ini motif korupsi tidak lagi hanya sekedar memperkaya diri sendiri, melainkan sebuah praktek kejahatan terorganisir yang melibatkan banyak pemain dengan tujuan mempertahankan kekuasaan (status quo) melalui upaya menghalalkan segala cara sebagaimana teori kekuasaan yang dikemukakan oleh Machiavelli.
Kekuasaan bisa menjadi ujian tentang integritas seseorang. Sangat banyak orang yang sebelum berkuasa memiliki pikiran yang jernih, berkelakuan lurus, berani melawan arus. Namun ketika dia berkuasa perilakunya berubah, pikirannya menjadi kotor, kelakuannya miring, dan hidup mengikuti arus besar yaitu korupsi. Golongan semacam ini merupakan mayoritas, yang tidak mampu memelihara dan mempertahankan integritasnya di dalam kekuasaan. Yang sebelumnya idealis berubah menjadi hedonis. Yang sebelumnya kritis, menjadi hipokrit. Yang sebelumnya terus terang, berubah menjadi pembohong. Yang sebelumnya bersih, sekarang menjadi kotor. Dan tentunya sebelumnya hidup sederhana atau pas-pasan berubah menjadi kaya raya dan terkenal.
Selain kekuasaan cenderung korup, Eddi Santoso dalam tulisannya di Detikcom, yang berjudul “Kebohongan Berkuasa” mengutip ucapan John Bright (1811-1889) seorang bangsawan Inggris. Bright menyaksikan kelakuan para pejabat negara dimasanya yang mencapai titik nadir derajat tercela, dia mengatakan : “Jika bangsa ini tahu orang macam apa para pejabat negara itu, pasti akan memberontak dan menggantung mereka semuanya”. Demikian juga pada suatu ketika Ratu Beatrix di depan Asosiasi Redaktur Belanda mengatakan “ De leugens regeert , (kebohongan berkuasa). Nampaknya para pejabat negara itu memang sudah terbiasa mengelola politik dan kekuasaan dengan berbohong”. Kebohongan menjadi andalan yang membius dan melumpuhkan saraf kesadaran. Berangkat untuk meraih kekuasaan dengan bekal kebohongan dan memeliharanya dengan kebohongan pula.
Karena gejala korupsi semakin marak terjadi, lambat laun persepsi masyarakat tentang korupsi menjadi sangat sederhana. Salah satu faktor perubahan persepsi ini adalah adanya peran serta berbagai kekuatan sosial. Diantaranya pengaruh lingkungan, pendidikan, tekanan kekuasaan politik, beban dan kepentingan ekonomi serta sanksi sosial. Pada tahapan yang ekstrim kekuatan-kekuatan sosial ini dapat memfasilitasi perubahan persepsi masyarakat. Mula-mula korupsi masih dianggap kejahatan, namun lambat laun korupsi dianggap suatu kejahatan yang tidak terelakkan karena keadaan ekonomi yang sangat sulit, dan orang-orang disekitarnya juga mempraktekkan hal yang sama, yaitu korupsi. Pada gilirannya dengan gejala korupsi yang makin marak terjadi, itu merupakan cermin terbengkalai dan hilangnya nilai-nilai dan kesadaran kemanusiaan sebagai makhluk rasional, berkesadaran, berfikir dan berakal budi.
Kekuatan- kekuatan sosial yang mampu mendorong penyalahgunaan kekuasaan bukan hanya terbatas pada tindakan korupsi saja, namun berkembang lebih luas yang mencakup masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).Ketiganya adalah masalah dengan jangkauan yang lebih luas dan kompleks namun muaranya tetap pada satu titik yaitu kekuasaan.
Menurut Glendoh, KOLUSI adalah sebuah persetujuan rahasia diantara dua orang atau lebih dengan tujuan penipuan atau penggelapan melalui persekongkolan antara beberapa pihak untuk memperoleh berbagai kemudahan untuk kepentingan mereka yang melakukan persekongkolan. Sedangkan NEPOTISME adalah kebijaksanaan mendahulukan saudara, sanak famili serta teman-teman. Menurut Wikipedia Indonesia nepotisme berasal dari kata Latin –nepos- , yang berarti “Keponakan”, kemudian berkembang bahwa pengertian nepotisme adalah lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. KKN (Korupsi, Kolusi Nepotisme) ini dapat tumbuh subur dan berkembang di lingkungan budaya patrimordial yang pada, gilirannya akan menjelma menjadi sebuah budaya, yang tentunya ini adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat dahsyat daya rusaknya, dan menjadi sangat sulit untuk memberantasnya.




IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Seluruh aspek kehidupan manusia sejak dulu, sekarang maupun dimasa mendatang pasti mengandung dan memerlukan kekuasaan, dan setiap manusia baik individu maupun kelompok pasti memiliki atau memerlukan kekuasaan, baik dalam skala kecil, menengah , nasional maupun global, kesemuanya merupakan suatu kesatuan utuh yang saling berkaitan satu sama lain.

Selain mempesona, kekuasaan mempunyai daya rusak yang sangat dahsyat , karena transformasi dan kompetisi memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan tanpa disertai norma, aturan dan etika, maka nilai-nilai dalam ikatan (etnis, ras, persaudaraan, agama dan lain-lain) itu seakan tidak berdaya menjinakkan kekuasaan.

Jika struktur kekuasaan tidak memungkinkan berfungsinya mekanisme “check and balances” dapat dikatakan dan dipastikan bahwa korupsi akan berkembang dengan cepat dan tetap bertahan.

Bahwa kekuasaan bisa berkonotasi negatif maupun positif, tergantung pada bagaimana kekuasaan itu dikelola. Kekuasaan itu bisa positif apabila kekuasaan itu dikelola dengan baik dengan dasar moralitas yang baik, namun bisa berkonotasi negatif apabila kekuasaan itu disalahgunakan yang membawa dampak buruk bagi lingkungan maupun diri sendiri.

Pada dasarnya di dalam lingkup kekuasaan itu ada unsur hak dan kewajiban, oleh karenanya seyogianya kekuasaan itu dilaksanakan secara seimbang.

B. Saran

Dengan memiliki kesadaran bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang istimewa dan agung melainkan amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan berlandaskan pada etika dan moralitas yang luhur, maka orang itu adalah mahluk Tuhan yang paling berbahagia, karena menempatkan dirinya pada posisi bahwa untuk dapat memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan sekecil apapun adalah merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa.

V. KEPUSTAKAAN
1. Pax Benedanto, Politik Kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli (Il Principe), Kepustakaan Populer Gramedia, 1997
2. Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, 1990
3. Rafael Raga Maran, Sosiologi Politik, PT. Rineka Cipta, 2001
4. Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Penerjemah Daniel Dhakidae, Penerbit :Rajawali Pers, Jakarta, 1982
5. Dr. Haryatmoko, Etika, Politik dan Kekuasaan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2003
6. Drs. D. Hendropuspito. OC, Sosiologi Sistematik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1989.
7. Ignas Kleden,dkk, Korupsi kemanusiaan menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006. Resensi oleh A. Yusrianto Elga
8. Emil Salim, makalah “ Anatomi Korupsi di Indonesia”
9. Musa Asy’arie, artikel” Korupsi, kebudayaan, dan Politik Kekuasaan” Kompas, 11 Maret 2003
10. Artikel-Artikel dari Internet.




Februari 2007
Next
Newer Post
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top